Rabu, 26 Desember 2012

SOLUSI ISLAM DALAM MENJAWAB PROBLEM KEMISKINAN


Oleh  : Dr. H. Agus Alwafier,. By,. MM 
Almuslimul qowiyyu khaerun minal muslimiddhoif
“Muslim yang kuat itu lebih baik dari pada muslim yang lemah”
Negeri kita ini kaya dengan sumber daya alam, tetapi rakyatnya banyak yang miskin. Sekalipun dalam statistik yang di keluarkan BPS tercatat  bahwa kemiskinan di negeri kita menurun dengan kriteria yang berubah-rubah tahun 2012 sebesar 13 % tetapi pada kenyataannya dilapangan justru semakin banyak diperkirakan tahun 2013 justru menjadi 20 %. ini sesuatu yang ironis dan paradoks. Seperti yang sering dikatakan Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholis Majid) bahwa memang di negri kita ini banyak hal yang paradoks, pertama  dikatakan bahwa negeri kita itu kaya tetapi masyarakatnya miskin dan kedua jumlah penduduknya sangat basar tetapi kualits SDM rendahSejalan dengan pendapat Prof Ali Yafie yang cukup poluler bahwa kondisi masyarakat Muslim Indonesia “ katsir fil ‘adat wa qolil fil ‘udah” (banyak secara kualntitas, tetapi sedikir secara kualitas). Dan ketiga bahwa masyarakat dan yang terkenal sangat religieus dan mengagungkan nilia-nilai spiritual tetapi pada kenyataannya pelanggaran moral KKN terjadi dimana-mana. Kondisi ini terus terjadi bahkan semakin merajalela terutama dilembaga birokrasi baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dan lemba BUMN. Dan kini  ditambah lagi terjadinya krisis finansial global yang juga berdampak terhadap lebih susahnya perekeonomian negeri kita tentunya kemiskinan semakin parah dan ini lebih dari 95 prosennya adalah umat Islam. Pada hal Islam tidak memuji kemiskinan sebagai kondisi terbaik. Ketaqwaan seseorang tidakl mensyaratkan kemiskinan sebagai jalan hidup bertapaan (taqasyuf) seperti yang dikenal agama lain. Tetapi justru Islam menghendaki agar ummatnya berkecukupan secara ekonomi sehingga mampu melaksanakan rukun islam secara sempurna. Allah Swt telah menganugerahkan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa beliau dahulunya adalah orang miskin, lalu dia dijadikan Allah Swt. kaya dan berkecukupan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ad-dluha ayat 8  “ Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kehidupan yang berkecukupan”. Dalam alqur’an bahwa harta (al Mal) dipandang sebagai lambang kehidupan (al-Kahfi, 46) bahkan sebagai sesuatu yang baik atau al Khair ( al-‘Adiyat, 8) dan keutamaan atau fadhl ( al-Jum’ah, 10) dll.  Hal itu dapat menjadi dasar bahwa harta dan  kekayaan itu tak boleh dibenci dan hasrat untuk memiliknya tak boleh dimatikan,  hanya saja perlu dijinakkan melalui ajaran qona’ah dan sodaqoh yang akan menudukung kepekaan dan kepedulian sesial demi kesejahteraan umat dan bangsa.  Memang harta dan kekayaan itu tidak menjadi ukuran dan penentu kemuliaan, tetapi penentunya adalah iman dan taqwa ( al-Hujurat, 13) “inna akromakum ‘inda Allahi atqokum” (sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah hanyalah mereka yang beriman dan bertaqwa).  Namun seperti yang disebut oleh Nabi bahwa “Sebaik-baik harta adalah harta yang dipelihara oleh orang yang taqwa”. Dalam persepektif ini orang kaya yang penuh syukur (al-ghaniyyu was syukru) itu akan lebih baik dan lebih produktif ketimbang orang fakir yang penyabar (al- fakir was shobri). 
Langkah strategis (siasat) pengentasan kemiskinan
 
1. Pengembangan Sumber Daya Umat
 
Pengembangan Sumber Daya Umat adalah sebuah pilihan strategis, dimana proses pembangunan  harus seimbang, dinamis dan berkesinambungan, tentunya harus dilakukan oleh SDM yang berkualitas. Setiap kita dituntut harus  berupaya mengembangkan diri agar dapat eksis dan survive. Dalam hal ini Mechael J Mazzar menyebut abad globalisasi ini sebagai “the age of empowerment” yang menuntut kita untuk terus membangun tidak saja untuk keberdayaan tetapi sekaligus keberjayaan dalam percaturan era yang semakin kompetitif. Setiap individu maupun organisasi dituntut menciptakan keunggulan-keunggulan, tidak saja keunggulan komparatif ( comparative advantage), tetapi juga lebih penting lagi adalah keunggulan kompetitif atau daya saing ( competitive advantage) tentunya pada saat ini siapa yang mampu menciptakan keunggulan dan daya saing tinggi, maka ia akan keluar sebagai pemenang dalam percaturan global. 
Dalam Islam kita diperintahkan untuk mampu barsaing dan mambangun kehidupan ini dengan baik bahkan terbaik. Karena kita adalah mahluk Allah terbaik (ahsani taqwim) bahkan diperintahkan  bekerja dengan kualitas terbaik (ahsanu ‘amala) hal ini dikemukakan oleh Allah dalamat kalimat superlatif  yang mengandung semangat kompetisi. Pembangunan SDM wajib diupayakan untuk mencapai khaeru ummat (umah terbaik), disebut dalam Surat Ali Imron ayat 110 “ Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, manyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah SWT.”
Menurut Sayyid Qutub bahwa yang dimaksud umat terbaik adalah umat yang benar dari segi aqidah dan ibadah serta kuat dari segi ekonomi dan politik, sehingga mereka mampu memegang kendali kepemimpinan dunia ( al-qiyadah al-basyariyah) seperti dibuktikan oleh Rasulullah Saw dan kaum muslimin pada awal periode Islam.  Dan bahwa kunci  kekuatan khaeru ummah itu terletak pada kemampuan melakukan tiga hal yakni amar ma’ruf, nahi munkar dan iman.  Ketiganya difahami Sayyid Qutub sebagai ciri atau karakteristik dasar komunitas Islam.
Amar ma’ruf dapat difahami sebagai humanisasi yaitu program pemberdayaan ( empowerment) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.  Nahi munkar difahami sebagai liberasi yaitu ihtiar untuk membebaskan umat dari kedzaliman dan berbagai pelanggran moral.  Sedangkan Iman bermakna transendensi yaitu seruan agar manusia tidak melupakan komitmen dan perjanjian primordialnya dengan Allah swt. Pada humanisasi terkandung penguatan intelektual sedangkan pada liberasi terkandung penguatan moral sementara pada trnsendensial terkadung penguatan spiritual.  Inilah ketiga hal yang akan membangun kekuatan umat yakni kekutan intelektual, moral dan spiritual. Dan dengan ini pula manusia, baik sebagai individu maupun sebagai umat akan bertahan hidup (survive) dalam maju, sejahtera dan berperadaban
2. Mempekuat Iman dan Taqwa
Pembangunan sosial ekonomi itu terkait dengan pengembangan nilai-nilai iman dan taqwa dalam perspektif ini difahami bahwa tanpa kekuatan iman dan taqwa maka persoalan sosial, termasuk persoalan kemiskinan akan tidak mungkin bisa terpecahkan secara utuh.  Iman adalah pangkal dari segala kebaikan agama. Terminologi iman memiliki akar kata sama dengan al Amn (rasa aman) dan al Amanah (dapat dipercaya). Jadi iman mengandung makna sikap mempercayai Allah atau menaruh kepercayaan kepada Allah dengan sikap batin yang kuat tanpa keraguan sedikitpun sehingga timbul rasa aman, tentram dan berserah diri (tawakkal) serta kembali ke jalanNya (raja’a atau anaba).  Karena menaruh keparcayaan kepada Allah maka tentu harus berprasangka baik, khusnudzan (positive thingking) kepada Allah dengan sikap optimistik (penuh harap) terhadap rahmat, ampunan dan ridloNya.
Rasyid Ridlo memahami iman sebagai sikap mempercayai Allah yang sangat kuat disertai ketundukan jiwa atau kepatuhan secara total kepadaNya. Kepatuhan kepada Allah dengan menerima dan menjalankan semua ajaran yang dibawa Rasulullah saw  merupakan syarat mutlak iman.  Karena itu tidak dinamakan iman apabila tidak disertai tindakan atau perbuatan yang menjadi kelanjutan logisnya. Menurutnya bahwa orang yang tidak melakukan amal lantaran bodoh atau tidak mengerti (jahil) maka ia fasik. Sementara orang yang tidak melakukan kawajiban agama karena menentang kepada Allah maka ia kafir.
Keimanan itu menuntut untuk islam yaitu sikap tunduk dan patuh kepada Allah SWT. dalam hal ini menurut Mahmud Syaltut harus diupayakan melalui lima hal :  pertama ketundukan secara mutlak kepada Allah swt. (Adzdzariyah  56.). Kedua sosial dengan membangun hubungan dan kerjasama yang baik dalam kebajikan dan taqwa (al Maidah 2).  Ketiga akhlakul karimah  dengan menjaga kesucian diri dan keluhuran budi pekerti (as-syams 7-10). Keempat dakwah dengan mengajak mnusia ke jalan Allah melalui tausyiyah dan amar ma’ruf nahi munkar (ali Imron 104). Kelima ikhlas dengan mengorientasikan semua aktifitas demi dan untuk Allah swt. semata.
Iman dalam wujud seperti ini akan membebaskan manusia dari kehampaan spiritual seperti banyak dialami oleh masyarakat, maka dengan iman dan amal sholeh akan merasakan hidupnya penuh makna dan penuh berkah bahkan penuh kebahagiaan dan kedamaian lantaran ia merasa dekat dengan Allah Swt. atau merasa berada di orbitnya.  Perasaan dekat ini akan mempertinggi keyakinan untuk mendapatkan berkah, rizki dan rahmat dari Allah swr.  Seperti digambarkan dalam surat al ‘Arof 96 :  “Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka kami siksa mereka karena perbuatannya”.
Merujuk kepada ayat ini dimana keberkahan itu timbul dan melimpah manakala pengelolaan terhadap sumber-sumber kekayaan alam itu dilakukan dengan prinsip iman dan taqwa.  Iman dalam arti tauhid berarti membebaskan manusia dari keterkungkungan hawan nafsu dan ketundukan kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah dan orang seperti ini layak menjadi khalifah dimuka bumi.  Sedangkan taqwa berarti sikap hati-hati waspada dan penuh perhitungan.  Dengan prinsip taqwa berarti seorang akan bertindak jujur, disiplin dan teliti serta terhindar dari tindakan yang bersifat ceroboh dan sewenang-wenang. Taqwa juga memgandung makna adil, tanggung jawab. Dan sikap ini jelas akan membuat seorang lebih produktif baik bagi kesejahteraan dirinya maupun kesejahteraan orang lain atau umat.
3. Membangun moral dan akhlak
Krisis ekonomi dan kemiskinan yang melanda bangsa ini juga disebabkan karena kebangkrutan moral dan sosial masyarakat. Dalam perspektif ini salah satu solusinya yakni melalui perbaikan moral dan akhlak bangsa.  Ini menjadi urgen karena adanya perkembangan modernisasi dalam era globalisasi yang meinmbulkan banyak ekses dan terjadi perubahan nilai ditengah masyarakat dan juga banyaknya prilaku menyimpang dan pelanggaran moral yang menyebabkan bangsa ini kian terpuruk.
Seperti kita maklum bahwa misi Rosulullah saw adalah membangun kualitas moral (ahlakul karimah). Ini mengandung makna bahwa akhlak merupakan hal yang sangat penting dan utama dalam islam. Akhlak dapat dikatakan sebagai inti dari agama.  Seseorang tidak dapat dikatakan beragama bila tidak berahlak dan agama harus melahirkan keluhuran budi dan akhlakul karimah sehingga mendatangkan kebaikan dan berpengaruh secara moral dan sosial dalam kehidupan.  Dalam pengembangan akklak diperlukan idealisme tinggi. Idealisme adalah komitmen kita untuk selalu berpihak kepada yang baik.  Kita sadar bahwa dalam filsafat kehidupan dimana kita selalu diliputi oleh konplik antara kebaikan dan keburukan,  ini adalah inti dari kehidupan sehingga dalam konflik ini kita harus berpihak kepada kebaikan dan  inilah idealisme.  Dalam pengembangan akhak ini diperlukan langkah-langkah yaitu : pertama memahami nilai baik dan buruk, kedua menciptakan lingkungan kondusif  dirumah, di sekolah, di lingkungan masyarakat, di kalangan pemerintah dsb.nya., ketiga keteladanan para tokoh sebagai desain yang sempurna atau master plan. Keteladanan pemimpin sangat penting ditengah masyarakat kita yang masih paternalistik yaitu bangsa yang mudah mengikuti tindak tanduk para pemimpinnya, karenanya pengembangan akhlak menemui kesulitan apabila para pemimpin dan tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi teladan justru nyaris edan, mereka  tanpa rasa malu melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji yang  merugikan umat dan bangsa.
4. Membangun budaya etos kerja yang kuat
Para ilmuan seperti Max Weber dan Robert N Billah mengatakan bahwa terdapat  hubungan korelasi yang positif antara agama dengan kemajuan ekonomi dan produktifitas kerja. Dalam sejarah kita bisa melihat misalnya pada masa kejayaan Islam di Jawa,  pada saat itu para pengusaha dan pedagang yang maju dan sukses adalah kaum muslimin yang berlatar belakang santri yang berarti ada korelasi positif antara kesantrian dan kemajuan ekonomi.  Meskipun kemudian tradisi dan kultur yang baik ini diporak porandakan oleh kolonial yang mengajarkan fatalisme dan penolakan terhadap kemajuan dunia.  Karenanya kita harus mengembangkan kultur dan etos kerja yang relevant dengan tuntutan zaman.  Doktrin Islam tentang kerja (‘amal) sungguh sangat kondusif bagi kemajuan masyarakat dimana setiap orang yang beriman lalu dituntut untuk bekerja keras (beramal sholeh), bahkan dalam sabda Rasulullah Saw. “Iman bukanlah angan-angan tetapi sebuah komitmen dalam hati yang menuntut pembuktian kerja atau amal”.  Jadi bekerja dalam Islam adalah ibadah dan panggilan Allah Swt. (calling from within), tugas suci dan mulia yang wajib ditunaikan. Sebagai panggilan Tuhan, kerja dan amal harus dilakukan dengan penuh kesungguhan dan dengan disiplin tinggi dan dengan niat atau motivasi yang tinggi.
Bahkan di era global dimana merupakan cirinya yang dominan adalah persaingan (kompetitif), maka jika kita tidak mampu bersaing akan tertinggal dan ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa ditawar.  Islam mengajarkan kita untuk “berlomba dalam kebaikan” (fastabiqul khaerat).  Maka untuk menjadi pemenang dalam perlombaan itu diperlukan mentalitas dan kesiapan yang matang untuk berlomba dan berkompetisi, bekerja keras yang berorientasi pada kualitas kerja dan kualitas karya. Dan kompetisi itu harus dalam hal kebaikan dan kemasalahatan umat (fidunya hasanah wafil akhiroti hasanah) dan juga harus ihsan (bekerja optimal dan sebaik mungkin) baik in put, proses dan out putnya. 
Usaha pengentasan kemiskinan yang melanda dahsyat negeri kita ini adalah menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai Umat Islam sebagai perwujudan dari ibadah dan pengabdian kepada Akllah Swt. setidaknya setiap kita ambil bagian melalui tiga M yakni merasakan penderitaan orang miskin, memikirkannya dan mengambil solusi pemecahannya juga mendorong orang lain untuk ikut serta membantu fakir dan miskin. Dan secara ektrim dapat  dikatakan bahwa apabila kita tidak mau terlibat dalam usaha mengatasi kemiskinan, maka  kita tidak layak lagi  disebut  sebagai kaum beriman tetapi  disebutnya sebagai pendusta agama ( al Ma’un).  
Wallahu ‘alam bishshowab.
x