Kamis, 04 Oktober 2012

MENYELAMI MAKNA HAKIKAT TAKWA


Oleh:
Drs. H. Muchlis, M.Pd.I.
Dosen STAI Bunga Bangsa Cirebon

         Kata “takwa” sudah sangat akrab bagi setiap pribadi muslim. Bahkan kata tersebut telah mewarnai rangkaian kalimat dalam sebuah pernyataan politik, sosial  dan budaya. Namun kata takwa tidak hanya berupa retorika, ataupun ungkapan yang melayang-layang melainkan harus menukik dalam relung hati yang paling dalam yang kemudian menjelma dan bisa kita raih dan dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang sesungguhnya.

         Berkaitan dengan hal tersebut, Syekh Thaha Abdullah al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad SAW Ali bin Abi Thalib ra tentang hakikat takwa, yaitu:
“Al Khaufu minal jalil wal amalu bittanzil wal i’dadu liyaumir rohil warridho bil qolil “
Artinya : Takut kepada Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dala at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya (sedikit).

Dari ungkapan sahabat Ali di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus dapat  kita raih yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari:
Pertama, “Al Khaufu minal jalil” yaitu takut kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah al khauf  (takut) kepada Allah SWT. Yang dimaksud  adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah SWT sekecil apapun harus kita jauhi. Thoriqohnya (metodenya) yaitu dengan semakin dekat kepada Allah. Inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Karena itu, totalitas  perilaku seorang  muslim yang takut kepada Allah SWT idealnya tidak akan melakukan penyimpangan dari segala ketentuan-Nya. Ucapannya, perbuatannya dan tindakannya senantiasa berada pada wilayah dan berusaha semaksimal mungkin agar tetap pada bingkai ridha Allah. Bilapun ia melakukan sebuah kesalahan maka tidak menunggu-nunggu lagi untuk untuk meminta maaf jika itu menyangkut hak adami.

Sebagai contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu, karena kehamilannya yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang menyebabkan kematiaannya, saat Rasul  menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan: “Ia telah bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah?” (HR. Muslim).
Jika melakukan perbuatan dosa, maka ia tidak menunda-nunda untuk beristigfar kepada Allah. Sebagaimana firman Allah : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (Qs Ali Imran [3] :133).

Kedua. Wal amalu bit tanzil, yaitu beramal berdasarkan wahyu.  Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi petunjuk bagi manusia agar bisa bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, orang muslim yang mengamalkan nilai hakikat  takwa akan selalu beramal atau beraktifitas dalam seluruh aspek kehidupannya  selalu berkiblat kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, termasuk hadits atau sunnah Rasulullah SAW karena ucapan dan perilaku Nabi memang  didasari oleh wahyu. Dengan kata lain, seseorang dikatakan bertaqwa bila melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks inilah, menjadi amat penting bagi kita untuk selalu megkaji al-Qur’an dan al-hadits, sebab alangkah naifnya apabila kita  memahaminya saja tidak dan bagaimana pula kita bisa memahami bila membaca dan mengkajinyapun tidak.

Kita boleh mengambil i’tibar  pada kehidupan para sahabat, mereka selalu berusaha untuk beramal berdasarkan wahyu. Karenanya mereka berusaha mengakajinya kepada Nabi dan para sahabat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang suka bertanya. Meskipun mereka suka melakukan sesuatu, tapi bila ternyata wahyu tidak membenarkan mereka melakukannya, maka merekapun berusaha untuk meninggalkannya.

Suatu ketika ada beberapa orang sahabat yang dahulunya beragama Yahudi, mereka ingin sekali bisa melaksanakan lagi ibadah pada hari sabtu dan menjalankan kitab Taurat, tapi turun firman Allah SWT yang membuat mereka tidak jadi melakukannya, yaitu adalah  : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu  (QS Al Baqarah [2]: 208).

Berkaitan dengan ayat di atas, pada firman “Kaaffatan”, seperti yang disampaikan Imam Al Marogi yaitu menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Syaikh Muhammad Ash Shobuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir mempertegas kalimat “Kaaffatan”, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, melaksanakan semua hukum-hukum  dan syariat-syariatnya dan janganlah kamu mengambil sebagian hukum dan meninggalkan sebagian hukum lainnya. Ibnu Abbas dan sekelompok tabiin menjelaskan firman Allah “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya”, maksudnya ialah masuklah ke dalam Islam dan taatilah segala perintah-Nya secara optimal.

Ketiga : Wal i’dadu li yaumir rohil yaitu mempersiapkan diri untuk akhirat. kematian merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. keyakinan kita menunjukkan bahwa mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justru awal dari kahidupan baru, yakni kehidupan akhirat, yang enak dan tidaknya sangat tergantung pada keimanan dan amal shaleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu mempersiapkan dirinya dalam kehidupan di dunia ini untuk kebahagiaan kehidupan di akhirat. Berkenaan dengan  ini Rasulullah bersabda : “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan”. Ibnu Umar berkata, “Jika kamu di sore, jangan menunggu pagi hari, dan jika kamu di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum kamu sakit, dan waktu hidupmu sebelum kamu mati “ (Riwayat Bukhari).

Bila kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan mensia-siakan kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai positif, sebagai apapun kita. Waktu dan kesempatan tidak dibiarkan belalu apalagi bila perbuatan kita dibalut maksiat. Melainkan kehidupan kita bermakna bagi kita, dan dihindarkan sekecil apaun perbuatan salah dan dosa. Allah SWT berfirman :  “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Qs Al Kahfi [18]:110).

Manakala seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah SAW  bersabda :  “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beamal bagi kehidupan sesudah mati ) HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim).

 Keempat :  “Warridha bil qolil”. Yaitu ridha meskipun sedikit. Setiap kia pasti ingin mendapat sesuatu khusunya harta dalam jumlah yang banyak sehingga bisa msencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat sedikit dan tidak cukup. Orang yang bertaqwa selalu ridha dan menerima apa yang diperolehnya meskipun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah, sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh kesungguhan dan cara yang halal. Korupsi yang menjadi penyakit bangsa kita hingga sekarang adalah karena tidak ada sikap ridha menerima yang menjadi haknya, akibatnya ia masih saja mengambil hak orang lain dan administrasi serta penguatan hukum atas penyimpangan yang dilakukannya bisa diatur, karenanya Allah SWT mengingatkan kita semua dalam firman-Nya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan nerbuat)dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
Wallahu a’lam