Kamis, 14 Juni 2012

4 MAKNA DARI 4.000 HADITS


Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.
(Redaktur Gema At-Taqwa)

Rasulullah saw., jika bersabda akan menjadi tuntunan dan teladan bagi umatnya. Sabda yang ia sampaikan semuanya adalah benar, karena sifat Rasulullah adalah Shiddiq (Benar). Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah ra., tentang akhlak Rasulullah saw. Aisyah menjawab, "Akhlak Nabi saw., adalah Al quran." (HR Muslim). Maka, dalam kehidupan kita wajib mengikuti langkah-langkah dan ucapan yang berteladan kepada Rasulullah saw.
Ucapan atau sabda Nabi saw., biasa kita sebut dengan Hadits. Setiap langkah dan ucapan Rasulullah saw., (Hadits) saat ini terkumpul dalam kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama besar antara lain, Shohih Bukhori, Muslim, Musnad Imam Hanmbal, Turmudzi, dan Al Muwatho Malik. Ratusan ribu bahkan jutaan Hadits telah banyak dibukukan oleh para ulama. Kemudian untuk mempermudah dalam pembelajaran, Hadits tersebut diklasifikasi berdasarkan kriteria tertentu.
Salah satu yang menarik adalah kisah seorang hakim yang mencoba merangkum dari banyak Hadits menjadi 4 makna saja. Sebagaimana dinukil dalam Nashoihul Ibaad karya Imam Nawawi al Bantani bahwa Abdullah bin Mubarak berkata: “Ada seorang hakim yang sangat arif dan bijaksana telah mengumpulkan 40.000 hadits. Kemudian dipilihnya lagi hingga 4.000 Hadits. Lalu dipilihnya lagi hingga menjadi 400 Hadits. Lalu dipilihnya lagi hingga menjadi 40 Hadits. Dari 40 Hadits ini ia simpulkan hanya 4 kalimat, yaitu:
1.    Janganlah memberi kebebasan sepenuhnya terhadap isterimu dalam segala hal.
2.    Jangan tertipu oleh harta dalam segala hal.
3.    Jangan mengisi perutmu dengan makanan/minuman yang tidak mampu ditampung oleh perutmu.
4.    Jangan mengumpulkan ilmu apa pun yang tidak bisa memberi manfaat”.
Jangan memberi kebebasan sepenuhnya terhadap isteri dalam segala hal. Maksudnya adalah setiap suami sudah seyogyanya memiliki rasa cemburu agar jangan ada lelaki lain yang mengganggu miliknya. Suami adalah pemimpin dalam keluarga sehingga sudah sepantasnya menjadi penentu keputusan dalam keluarga. Namun memang, dalam pelaksanaannya perlu ada musyawarah sebagai landasan pengambilan keputusan, agar maslahat untuk keluarga.
Jangan tertipu oleh harta. Maksudnya adalah jangan sampai berkeyakinan bahwa dengan memiliki harta, Anda akan selamat dari bencana. Sehingga Anda melupakan semua urusan lain selain harta. Apa lagi sampai melupakan ibadah dan akhirat. Begitu juga Anda jangan tertipu oleh banyaknya harta.
Dalam kitab Nashoihul Ibaad, Imam Nawawi al Bantani juga menukilkan bahwasannya Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan membuat baik semua urusannya, menjadikan kekayaannya ada di hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dengan mudah. Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran ada di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali sebatas yang telah ditentukan”.
Pada kesempatan lain Rasulullah saw., bersabda: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kau mati esok hari”. Didapat kesimpulan bahwa jika ingin mencapai kebahagiaan, kita harus seimbang dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun jika tidak bisa keduanya, paling tidak kita harus berorientasi pada kepentingan akhirat. Karena, dengan begitu dunia akan sendirinya datang kepada kita. Namun jika kita mengutamakan dunia atau harta saja, maka yang akan kita dapatkan adalah kesengsaraan bahkan kefakiran.  
Berkaitan dengan poin 3, Rasulullah saw., pernah bersabda: “Sumber segala penyakit ada kaitannya dengan perut yang kekenyangan”. (H.R. Daruquthni melalui Anas ibn Sinni dan Anu Naim melalui Ali ibn Said melalui Az Zuhri). Maksud Hadits ini adalah bahwa sumber segala macam penyakit itu berhubungan erat dengan ketidakmampuan lambung dalam mencerna makanan. Yakni dengan cara menjejalkan makanan ke mulut sehingga tidak sempat dikunyah. Begitu juga memasukkan minuman sesudah makanan atau memasukkan minuman diantara dua suapan makanan tanpa mengunyah suapan yang pertama terlebih dahulu.
Para ahli kesehatan telah banyak membuktikan penyakit yang bersumber dari perut. Sir Arbuthnot Lane, M.D dari London mengatakan: “Saya telah mengalami bahwa banyak kasus pembedahan dapat dihindari dengan cara mencuci usus, karena 90% dari penyakit manusia di masa kini disebabkan oleh usus yang kotor dan tidak berfungsi dengan normal.” Begitu juga Dr. Norman Walker, Dsc, Phd. USA: “Cuci usus akan menghilangkan sembelit, rasa lesu, penyakit lemah pencernaan, sakit sendi, sakit pinggang, perut kembung, kencing manis, dan lain-lain.” Sumber: (http://www.facebook.com/sehat.mandiri?v=app_4949752878)
Dari fakta ini membuktikan bahwa betapa pentingnya menjaga kesehatan perut, karena sumber penyakit bisa berasal dari perut seperti yang disabdakan Nabi saw. Bahkan Nabi saw., telah menyatakannya lebih dulu. Barulah para ahli dan peneliti membuktikannya.
Berkaitan dengan poin nomor 4, diriwayatkan bahwa pernah ada seorang lelaki berkata kepada Abu Hurairah ra.,: ”Aku ingin mempelajari ilmu, tetapi aku takut kalau aku menyia-nyiakannya”. Abu Hurairah ra., berkata: “Sudah cukup dikatakan menyia-nyiakan ilmu bila engkau sendiri tidak mau mempelajarinya”.
Imam Syafii berkata: “Barang siapa mempelajari Al quran, maka tinggilah nilai dirinya. Barang siapa mempelajari ilmu fiqih, menjadi mulialah kedudukannya. Barang siapa mempelajari aritmetika, maka cemerlanglah pikirannya. Barang siapa mempelajari bahasa Arab, maka haluslah perangainya. Dan barang siapa tidak bisa memelihara dirinya, maka ilmunya tidak akan bermanfaat”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa orang yang menyia-nyiakan ilmu bukan hanya yang memiliki ilmu kemudian tidak mengamalkannya, tetapi juga orang yang tidak mau mempelajari ilmu. Selain itu juga termasuk ke dalam orang yang menyia-nyiakan ilmu adalah yang tidak bisa memelihara dirinya dari segala perbuatan tercela atau dosa.
Wallahu Alam bishowaab...

Minggu, 10 Juni 2012

TAUHID BIJI SAGA



Telah banyak kajian tentang dunia Islam, dari mulai ilmu kalam, ushul fiqih, hadits, tasawuf, dan banyak lagi bidang-bidang kajian dalam Islam. Satu sama lain saling terikat dan ada beberapa yang wajib, sunnah, makruh, dan bahkan ada yang hanya beberapa orang saja yang boleh mempelajarinya.
Salah satu yang menarik dan sempat membuat dunia Islam terguncang adalah dunia tasawuf. Pada saat itu, banyak guru-guru mursyid dalam tasawuf seperti Ibnu Arabi, Abdul Qodir al jailani, Jalaludin Rumi, dan masih banyak nama-nama guru besar sufi lainnya. Di Indonesia ada yang namanya Syekh Siti Jenar dan beberapa sufi besar lainnya.
Baik dalam maupun luar negeri, ternyata ada beberapa dari para sufi tersebut yang dihukum oleh karena dianggap telah melakukan kesalahan dan menyebarkan paham yang sesat. Al hallaj, Ibnu Arabi, dan ada juga dari Indonesia yaitu Syekh Siti Jenar. Sufi-sufi tersebut dianggap telah menyebarkan paham yang dianggap sesat oleh sebagian kalangan.
Al hallaj misalnya yang terkenal dengan paham Wahdat Al Wujudnya. Kemudian Syekh Siti Jenar dengan paham Manunggal Ing Kaulo Gusti. Kedua paham ini sama-sama dipegang oleh keduanya dengan definisi bahwa manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Pada suatu ketika Al hallaj kedatangan tamu dan bertanya apakah di rumahnya ada orang yang bernama Al hallaj. Kemudian Al hallaj menjawab bahwa tidak ada orang yang bernama Al hallaj. Tetapi ada juga Tuhan. Ini berarti dia menganggap bahwa dirinya adalah Tuhan kalau kita lihat sepintas.
Kemudian Syekh Siti Jenar juga menyatakan hal yang sama. Dalam kitab yang pernah ditulisnya beliau menuliskan lafadz Laa Ilaaha Illa Anaa yang berarti Tiada Tuhan Selain Aku. Inilah salah satu hal yang menyebabkan Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para wali karena disamping itu beliau juga mengajarkan pahamnya kepada murid-muridnya yang sebagian besar adalah orang-orang awam.
Jika secara sepintas kita simak, kedua sufi ini telah mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Namun sebenarnya dari kedua paham ini tidak ada yang salah. Hanya saja, tidak tepat dalam penggunaannya. Syekh Siti Jenar mengajarkan pahamnya kepada orang-orang awam yang baru mengenal Islam, sehingga murid-muridnya tidak lagi melaksanakan sholat. Begitu juga dengan Al hallaj yang mengajarkan pahamnya kepada orang yang belum mendalami betul dunia tasawuf secara sempurna. Akhirnya, pihak-pihak yang berwenang pada saat itu memutuskan untuk menghukum mati sufi-sufi tersebut karena membahayakan umat.
Alasan kuat para wali untuk menghukum mati Siti Jenar, secara umum adalah karena telah mengajarkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sebagai analogi, misalkan ada orang yang mengetahui (mohon maaf) isi yang ada di dalam rok perempuan. Kemudian dia mengatakan dan membuka pandangan anak kecil tersebut tentang hal yang ada di dalamnya. Apa yang ia katakan dan perlihatkan kepada anak kecil tersebut adalah benar karena memang begitu adanya. Namun yang menjadi masalah adalah yang melihat tersebut adalah anak kecil  dan belum pantas untuk melihatnya. Sama halnya dengan apa yang Syekh Siti Jenar ajarkan kepada murid-muridnya. Sebagai murid tentu masih awam terhadap Ilmu-Ilmu Islam. Akan tetapi, mereka diberi pelajaran yang di luar kemampuannya.
Kemudian lebih khusus kepada paham kesatuan diri dengan Tuhan. Ternyata bisa dijawab dengan filosofi bentuk biji dari buah tanaman saga. Biji dari tanaman ini berukuran menyerupai kedelai dan berwarna merah pada bagian satu dan hitam pada bagian sebelahnya.
Berdasarkan hasil dialog saya dengan Bapak drh. H. Bambang Irianto, salah seorang pewaris kebudayaan Cirebon dari Keraton  Kasepuhan, beliau mengatakan bahwa warna biji tersebut mengandung makna “Satu Tan Tunggal” yang artinya satu tetapi tidak menyatu. Ini dapat kita lihat dari biji saga tersebut. Bagian biji yang berwarna merah terlihat menyatu dengan bagian yang berwarna hitam. Tetapi walau menyatu, kedua bagian tersebut tetap tidak menjadi satu. Karena antara warna hitam dengan merah tetap masih ada sekat yang memisahkannya.
Inilah kesimpulannya bahwa baik itu paham Manunggal Ing Kaulo Gusti, maupun Wahdat Al Wujud, keduanya adalah paham yang pada dasarnya benar. Namun karena salah penempatan, sehingga menjadi sebuah kesalahan yang sangat besar dan menyebabkan para pencetusnya harus dihukum mati agar paham tersebut tidak sampai menyebar luas kepada orang-orang yang masih awam terhadap Agama Islam.
Wallaahu Alam bi Showaab…