Kamis, 07 Juni 2012


TANGGUNG JAWAB SEORANG MUSLIM
Oleh : Drs. H. Muchlis, SK, M.Pd.I
(Dosen UMC)
Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (Q.S. Al Ahzab : 72)
Semua “amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh seorang muslim memiliki  konsekuensi untuk diminta pertanggung jawabannya (mas’uliyah), menyangkut perbuatan yang baik (hasana), maupun perbuatan yang buruk (sayiat).   Sejak di dunia ini, terlebih lagi kelak di akhirat seorang muslim  tidak akan luput untuk mempertanggung jawabakannya tentang segala apa yang dilakukannya di hadapan Allah SWT.
Al Qur’an mengisyaratkan sebagaimana firman-Nya dalam surat Al zallzalah: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan  barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”   ( Q. S. Al zalzalah : 7-8).
Berkenaan dengan ayat di atas , Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka (manusia) beramal dan akan dibalas amal mereka itu. Bila mereka beramal baik maka mereka  akan dibalas amal mereka itu, bila buruk mereka akan dibalas keburukannya itu. Muhammad Ali ash Shobuni menjelaskan pula bahwa amal perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk  meskipun sebesar debu dari tanah akan dibalas oleh Allah pada hari Kiamat.
Rasulullah bersabda : “Peliharalah dirimu dari sentuhan api neraka walaupun dengan separuh kurma, walaupun dengan kalimat thoyibah” (Hadits Riwayat Bukhari dari Adi).
Pada hadits lain Rasulullah mengingatkan, sebagaiamana sabdanhya : “Janganlah kalian meremehkan perbuatan baik apapun, walaupun berupa pencurahan air dari embermu ke dalam wadah orang yang meminta air kepadamu, atau engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri” (Hadits Riwayat Bukhari).
Manusia (termasuk muslim), seperti yang disampaikan Atang Abd., Hakim dan Jaih Mubarok adalah makhluk yang menanggung amanah sebagaimana firman Allah dalam Surat  Al ahzab: 72 di atas, maka Al Insan (manusia) dalam pandangan Al quran memiliki korelasi dengan konsep tanggung jawab. Dalam hal ini Allah berfirman:  “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Q.S. Al Qiyamah ,75. :36).
Pada ayat lain Allah berfirman : “Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (Q.S. Qof, 50:16).
Secara garis besar tanggung jawab seorang muslim ada tiga. Pertama, tanggung jawab seseorang terhadap Tuhannya (masuliyatu shokhsi an robbihi). Bahwa seorang muslim dalam kapasitasnya sebagai ‘abid berkewajiban menghambakan diri kepada Ma’bud (Allah SWT.) semata, dengan ibadah yang sebenar-benarnya, memurnikan tauhid (purifikasi) dengan sebuah keyakinan yang utuh dan kokoh bahwa tiada Tuhan (ilah) selain Allah SWT.  Keyakinan itu mengkristal dalam jiwa bahwa Allah SWT., disifati dengan sifat kesempurnaan dan bersih dari sifat kekurangan (maushufun bijami’i shifatil kamal waunajahun an jamiish shifatin nuqshon). Allah berfirman : 
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Q.S. Al muminun, 23:91).
Pada ayat lain Allah berfirman : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.  Allah adalah Tuhan yang bergantung  kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” ( Q.S. Al ikhlas, 112: 1-4).
Kor (inti) ajaran Islam terletak pada tauhid, sekaligus juga merupakan kekuatan bagi setiap muslim. Seorang oreintalis, H.R. Gibbs  mengatakan : “The strength of Islam lies on the faith to Allah”. Kekuatan Islam terletak pada iman kepada Allah. Ketika keyakinan kepada-Nya telah meraga sukma, menyatu dalam jiwa maka akan berbanding sejajar dengan kesadaran melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua, tanggung jawab seorang muslim kepada dirinya sendiri (masuliayatushohsyi an nafsihi). Seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya sekaligus sebagai khalifatullah fil ardhi yang mengandung makna bahwa seorang muslim juga secara linear memiliki kewajiban sosial yang sejatinya mempunyai tanggung jawab besar dalam kehidupannya di dunia yang  merupakan jalan untuk menuju kehidupan akhirat. Oleh karena itu manusia yang diberi amanah oleh Allah harus mampu menjalankan amanahnya dengan sebaik mungkin, dengan mengoptimalkan potensi yang Allah  berikan kepadanya untuk mengatur, mengelola dan melesatrikan bumi. Ruang lingkap tanggung jawab pribadi seorang muslim meliputi aspek :
1.      Tanggung jawab terhadap harta
Tanggung jawab yang diemban seorang muslim dalam harta yang telah Allah Swt berikan kepadanya, merupakan amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari’at. Seorang muslim seyogyanya memiliki kesadaran bahwa harta yang diterimanya ini hanyalah titipan dari Allah Swt, yang mesti dipergunakan dan disalurkan untuk kepentingan umat manusia. Dalam hal ini Allah SWT., menjelaskan melalui friman-Nya, surat Al hasyr ayat 7: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Makka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
2.      Tanggung jawab terhadap keluarga.
Yaitu tanggung jawab seorang Muslim dalam posisi sebagai orang tua. Tanggung jawabnya adalah menjaga keluarganya agar selamat dalam kehidupan baik dunia maupun akhirat. Allah SWT., menjelaskan melalui firman-Nya, surat Al tahrim, ayat 6 : Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...   Wilayah tanggung jawab seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir bahwa menyelamatkan keluarga dari api neraka yang dimaksud   yaitu istri, anak, saudara, kerabat, sahaya wanita dan sahaya laki-laki.  Mendidik mereka agar melaksanakan perintah Allah dan membantu dalam merealisasikannya serta mencegah berbuat maksiat. Muhammad Ali Ash Shobuni memberi komentar pada ayat tersebut yaitu menyelamatkan keluarga yakni istri dan anak-anak, dengan memerintahkan mereka berbuat baik dan melarang berbuat buruk, mengajari dan mendidik mereka agar selamat dari api neraka. Mujahid menambahkan: “Bertakwalah, nasihatilah keluargamu agar bertakwa kepada Allah”. 
Sebagaimana disampaikan para ahli tafsir ayat tersebut mengandung makna tersirat bahwa untuk menyelamatkan keluarga dari api neraka, maka betapa pentingnya peran pendidikan. Dalam proses pendidikan, orang tua memiliki peran utama dalam melakukan talim, tadib dan tarbiyah, karena orang tualah yang merupakan lingkungan pertama. Menurut hasil penelitian ilmu pengetahuan modern menyatakan bahwa yang dominan membentuk jiwa manusia adalah lingkungan. Dan lingkungan pertama yang dialami sang anak adalah ibu dan ayah.  Sedangkan lingkungan pendidikan terkecil adalah keluarga, dengan demikian yang berkewajiban melakukan pendidikan terhadap seorang anak adalah orang tua.
Oleh karena itu  orang pertama yang bertanggung jawab terhadap keluarga adalah orang tua (ayah dan ibu). Dari kedua orang inilah pendidikan harus dimulai. Keberhasilan pendidikan tingkat awal ini akan membawa kepada keberhasilan pendidikan keluarga dan masyarakat. Baqir Sharif al Qarashi, keluarga  penampakan sejati dari ketenangan anak karena alasan ini,  ketenangan serta kematangan personal anak-anak secara penuh bergantung pada beragam hubungan kualitatif dan kuantitif keluarga. Para analisis menemukan bahwa nilai-nilai agama dan moral anak terbangun disekeliling keluarga-keluarga.
Ketiga, tanggung jawab seseorang kepada negerinya (mas’uliyatush shohsi fi baldrihi). Cinta sekaligus membela tanah dari rongrongan dan penjajahan negeri luar, merupakan sikap, watak yang telah dicontohkan oleh para pejuang dahulu. Sederet nama para pahlawan yang telah gugur dalam mengusir penjajah telah terukir dalam lembaran sejarah bangsa, yang tak lapuk ditimpa hujan, tak lekang ditimpa panas. Meskipun mereka tidak semua berjuang membawa nama agama, hanya semata-mata untuk tegaknya kedaulatan Indonesia, namun nilai-nilai juang yang mereka gelorakan,  telah menjadi pemacu dan pemicu tumbuh suburnya semangat jihad dalam bingkai amar maruf nahi munkar.  Saat ini kontribusi cinta dan membela tanah air dapat direpresentasikan dalam bentuk kompetensi anak bangsa, baik dalam bentuk mencintai produksi dalam negeri, bangga dengan budaya bangsa yang beraneka ragam yang selaras dan seimbang dengan karakter bangsa yang berketuhanan   maupun kompetensi lainnya yang bermanfaat bangsi kepentingan  segenap anak bangsa. Maka pada gilirannyalah generasi bangsa berada pada garda terdepan dalam mengawal proklamasi 17 Agustus 1945 serta bersama-sama berupaya agar terwujud “baldatun toyibatun wa  robbun ghofur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar